Friday, September 5, 2008

Dik....


Assalamualikum Wr,Wb

Teriring salam dan do’a semoga setiap jenak-jenak nafas mu senantiasa dalam cahaya Nya dan tetap istiqomah di jalan berkerikil ini. Seperti harapku pada saudara-saudaraku yang lain.

Dik.…

Di bumi yang kau jejak, tak ada keberhasilan tanpa perjuangan. Begitu pun tak ada cinta tanpa pengorbanan. Kau harus memahami dan menetralisir betul-betul arti ungkapan itu dalam tiap helai nafasmu. Kita sama-sama tengah berjuang untuk tetap “hidup” dalam kehidupan yang kita susuri menuju impian masing-masing kita. Kau ingin berhasil temukan bintangmu. Aku juga. Kau dan aku telah berani menentukan jalur ke arah yang kita anggap benar. Maka untuk itu, kita pun harus siap Bahwa Dia tidak ingin melihat hasil cita-cita kita. Tapi Dia menilai setinggi dan sebesar apa yang kita lakukan demi mencapainya.

Nama atau gelar hanya hadiah semu dari manusia. Tidak lagi berarti bagi Allah terhadap orang yang mencarinya. Bukankah, dia tidak butuh semua itu. Dia hanya ingin menjual syurga dengan diri, harta dan keluarga hamba-hamba-Nya. Dan difirmankan Nya sudah bahwa Dia tidak menjadi rugi bila kita tak membeli syurga milikNya. Toh Dia masih bisa mencipta pembeli-pembeli baru yang jauh lebih baik dari kita. Maka sobat..kita harus membayarnya lewat diri, harta dan keluarga kita. Kita harus lebih dahulu menangis untuk dapat tertawa. Bukankah Rasulullah pun telah menangis lebih banyak?. Bahkan dia lebih sakit dari siapapun. Karena itu, diapun lebih dicintai Allah dari siapapun. Tidak pantaskah kita iri?. Melihat banyak manusia yang lebih memiliki cinta Allah? Justeru kita harus memiliki cinta yang lebih besar dari milik mereka.

Ku ingat sewaktu ayah berkata lewat matanya yang bijak, bahwa beliau ingin melihatku berdiri di tempat dengan imam-imam mengibarkan panji-panji Allah? Dari sewaktu ibu menasehat lewat tangannya yang pedih, bahwa kita harus menjadi orang-orang terkuat? Kumasih ingat ketika beliau berdua melambaikan tangan-tangan yang penuh bekas luka itu diluar jendela kereta yang ku tumpangi menuju medan jihad? Medan dakwah, ilmu juga usaha. Engkau pun mungkin telah merasakannya sobat...

Tangan tangan itu berbicara lewat bahasa yang sudah kita kenal, bahwa tangan kita harus lebih terluka dan lebih letih dari mereka. Setelah itu kereta tak peduli dengan mirisnya hati kita yang masih ingin mendengarkan kata kata mutiara yang mengalir pada tiap bulir keringat ayah ibu tentang apa yang akan terjadi esok hari…. Sejenak kemudian airmata kita menceritakan kepada jendela kereta yang menampilkan gambar-gambar alam dan angin tentang kehijauan perasaan kita yang belum memilki cukup keberanian untuk bangun tidur sendiri esok hari.

Disinilah kita, yang lagi mengisi catatan perjuangan utnuk selanjutnya akan kita kuak tirai batu di hadapan dada kita lalu kita kan saksikan berjuta kehidupan berserakan yang masing-masing menawarkan penderitaan tersembunyi dibalik kenikmatan yang tersaji. Tenanglah sobat… Hal itu masih lama terjadi, itu belum menjadi jatahmu. Hari ini mungkin kita masih harus bermain dengan pena dan kertas kita. Nah..menggambarlah. Lukislah kata-kata dosen dan cintailah mereka. Telanlah masak-masak apa yang mereka ajarkan kepada kita. Sebab merekalah yang akan menggandeng tangan kita untuk menikmati jatah yang sedang disodorkan di meja kita yang tak bersih ini.

Akupun tengah mendapat bagian yang sama denganmu. Perasaan kita sama walau bumi yang kita injak berbeda warnanya. Kita juga kehilangan waktu bersama keluarga dirumah. Tentang cerita ayah yang diselingi riuh tawa ibu dan saudara-saudara kita yang lain. Kita luput dari semua itu. Salah seorang saudara kita pernah mengejek “ You miss the bus!” padahal menurutku, merekalah yang ketinggalan peristiwa. Kitalah yang sebetulnya memilki banyak peristiwa sobat. Karena itu, jangan kau bersedih. Kita tak pantas bersedih bukan? Kita hanya boleh menagis pada tidur kita saja. Lalu katakan pada hidup bahwa ia diciptakan bukan untuk membuat mata kita basah. Tapi untuk membuat kening kita berkeringat oleh kekuatan untuk mendapatkan cintaNya. Kita harus kembali menjadi diri sendiri. Tanpa terusik oleh keinginan orang lain atas diri kita.

Dik.. tajamkanlah pandangan kita. Kita tembus cakrawala bumi, kita belah angkasa raya, Pegasus-pengasuh Nya untuk jelajahi seribu juta galaksi yang ada, selanjutnya mari bergerak vertical menuju singgasana Nya. Dan mari nikmati asinnya keringat yang mengucur dari dalam jiwa kita untuk mendapatkan peluk sayang Nya.

Wasallamualikum Wr. Wb

Tuesday, April 1, 2008

AMANAH


AMANAH
Akhirnya manusia memberanikan diri memikul beban amanah itu. Sungguh sebuah keberanian yang spektakuler. Karena ia lahir justeru ketika semua peserta alam raya –langit, bumi dan gunung-gunung menolaknya. Tak satu pun diantara mereka yang mempercayai kemampuannya membawa amanah Maha besar itu.
Ternyata hidup adalah sebuah pertanggungjawaban. Ia bukan permainan. Sebab ia diberikan kepada kita atas dasar sebuah perjanjian maha sakral dengan Allah, Sang pencipta kehidupan. Dan bumi ini, tempat dimana kehidupan manusia disemaikan adalah panggung pementasan amanah. Tiap waktu yang kita lalui di setiap lorong kehidupan ini adalah jejak-jejak yang harus dipertanggungjawabkan dihadapan Allah. Setiap sisi ruang dan waktu harus merupakan implementasi ‘ibadah’ total kepada Allah. Sebab hanya dalam kerangka itu semua gerak kita memperoleh makna hakiki dimata Allah.
Dalam visi seorang muslim, ibadah itu diejawantahkan ke dalam dua kata ; imaroh dan khilafah. Inilah amanah besar yang dilimpahkan ke pundak manusia. Dan untuk amanah itu pulalah Allah berkenan meniupkan nafas kehidupan k dalam raga manusiawi kita. Sesungguhnya tingkat kesadaran kita tentang hakikat ini akan menentukan tingkat intensitas kehadiran jiwa dalam menjalani hidup. Sebab kesadaran itulah yang akan mengikat jiwa kita secara terus menerus dengan misi penciptaan kita. Seperti mata jiwa yang memiliki kesadaran begini selamanya kan terbuka membelalak menatap setiap jejak langkahnya.
Begitulah pada mulanya kesadaran amanat itu hinggap dalam jiwa dan akal Rasulullah SAW. Seterusnya ia menulari jiwa dan akal akal sahabat beliau. Dan dari telaga ksedaran inilah mereka meneguk mata air kecemerlangan. Sebab air telaga itulah yang memberi mereka ‘dorongan dan tenaga jiwa’ yang tak pernah kering. Nyaris tak pernah kita dengarkan bahwa usia dan segal hambatan duniawi lainnya merintangi gejolak jiwa mereka untuk berkarya dan berkarya. Bahkan dalm proses berkarya memberi dan lelah karenanya. Mereka justeru menemukan makna kehadiran mereka di panggung kehidupan ini, sesuatu yang memberi mereka kelezatan hidup.

Thursday, March 13, 2008

Dakwah Semakin Getir


DAKWAH SEMAKIN GETIR




Nampaknya dakwah kian hari kian bertambah berat, bak mendaki ke atas bukit. “falagtanamal aqobah” demikian menurut al-Quran. Fenomena ini sungguh nyata, kita sadari atau tidak,kita setujui atau tidak, kenyataan tersebut tak bisa dihindari.

Namun dakwah semakin hari semakin naik daun. Agaknya penindasan yang bertambah keji justeru menambah para pengikut kebenaran. Barangkali ini adalah bukti karena al-Quran menyebutkan “waquljaa alhaqqowa zaahaaqol baatil innal baatiila kaana zuhuuqo” (sesungguhnya kebenaran itu akan menang dan kebathilan itu akan terkalahkan)

Kita memang tak harus meminta pertolongan kepada “budak-budak kebathilan”.

Acap kali tergambar fenomena harokah islamiyah (pergerakan islam) secara terbalik. Misal, gerakan perlawanan intifadhah mendapatkan banyak pengikut lantaran morat-maritnya perekenomian Palestina. Padahal hakikat sesungguhnya intifadhah sejajar dengan kekejian bangsa yahudi yang telah merampas tanah leluhur kaum muslimin Palestina. Begitu pula dengan al-Qaeda, jamaah islamiyah dan gerakan islam lainnya. Kesengsaraan yang dirasakan masyarakat Afganistan dan Irak pun tak ada bedanya.

Ironisnya lagi hampir bisa dipastikan sangat sedikit negara yang mau menolong kaum pembela al-haq tersebut. Negeri kita ini misalnya. Namun demikian mereka tidak pernah surut. Berbagai kegetiran dan cobaan mereka sadari sebagai sunatullah. Dan setiap da’i, akitivisa dakwah dan pembela agama ini dan atau yang senantiasa membuktikan keberpihakannya kepada agama suci ini harus dapat menjalaninya dengan penuh kesadaran. Yusuf al Qardhawi menyebutkan bahwa sabar adalah prinsip gerakan islam. Inilah yang harus dipahami. Gerakan ofensif guna mengambil alih al-Quds (Jerussalem) dari tangan tentara salib dibawah Guy de lu Signan di Hittin 1187 yang sama sekali tidak “mengusik” penduduk sipil non muslim yang tinggal di daerah tersebut adalah salah satu lakon sejarah yang bukanlah suatu anomali (keanehan) melainkan realitas dari pembumian konsep-konsep ajaran Islam. Lain halnya dengan “kerendahan hati” yang AS berikan selama ini kepada masyarakat sipil di Afganistan, Iran dna negeri “terkoyak” lainnya.

Sebenarnya pentas sejarh telah melakonkan berpuluh-puluh kali atau bahkan beratus-ratus kali kisah agung kebesaran dan kearifan peradapan islam semacam ini. Tapi barangkali perekam-perekam sejarah tak cukup jeli dalam menangkap moment-moment kesejarahan seperti ini. Mereka (non muslim) tampak tidak peduli atau sengaja tidak peduli denagn kisah “beradap” seperti ini.

Sebenarnya apa yang tengah terjadi? Menggelikan. Bagaimana tidak, banyak sejarah yang nampak begitu absud, bnayak fakta yang terdistorsi, al-haq jadi al bathil. Tangan tangan panjanag “gurita raksasa” abad ini mencengkeram kita begitu kuat. Salah satu tangannya yang perkasa adalah tekhnologi informasi. Dengannya mereka mampu mengemas durian busuk menajdi kado istimewa. Sanggup mendudukkan si innocent man di depan Mahkamah Dunia sebagai terdakwa. Bisa menebar bermacam isu lalu membuktikannya. Bahkan mereka pun piawai dalam memfaktakan yang fiksi dan memfiksikan yang fakta.

Jika kita mau menelusuri sejarah lebih dalam lagi akan tersingkaplah konspirasi busuk dengan adegan panjang drama tanpa babak yang berjudul penindasan.

Adakah yang salah dnegan harokah islamiyah kita? Ataukah krisis keteladanan telah menggerogoti bangunan kokoh perjuangan kita?

Kehilangan sistem kekhalifahan dan atau figur pemimpin tampaknya berdampak besar terhadap kewibawaan umat islam di mata ummat lainnya di dunia. Dan sampai saat ini dunia islammseolah sebuah gambaran sebuah dunia yang bercerai berai, tercabik-cabik dan terkotak-kotak dalam sistem power block, terjebak dalam konsep nation state dan chauvinistis yang memecah belah. Ghawzul fikri lengkap dengan segala atribut sepertinya benar-benar telah menggelapkan dunia kita, hingga kita kelimpungan mencari singgasana yang hilang yang ternyata telah ditahtai oleh makhluk-makhluk kuffar.

Alangkah naifnya jika sebuah tonggak dunia (Amerika) yang disatu sisi lantang berkoar tentang HAM, demokrasi, keadilan dan kemerdekaan. Sementara sisi lainnya, muncul sikap ambivalen, ia menekan,memperkosa kedaulatan lalu membunuh. Sebuah sikap yang menelanjangi habis wajah sendiri, teramat hipokrit dan licik. Kini sang super power melanglang buana sendirian. Dengan arogannya dia meproklamirkan diri sebagai “pemimpin dan hakim dunia”. Bebas menentukan merah hitamnya dunia. Dan kita umat islam, kesulitan melihat figur pemimpin yang benar-benar sadar akan amanah yang diembannya. Tak seperti yang kita lihat pada panglima Abu Ubaidah, Shalahuddin al Ayyubi, Umar bin Abdul Aziz, Umar bin Khattab, Abu Bakar apalagi Rasulallah SAW.

Mereka inilah figur-figur teladan, tokoh agung bagi umat manusia. Yang mau memberi makan, pakaian, dan uang kepada seorang pengemis yahudi yang duduk di muka mesjid seperti yang dilakukan oleh khalifah Umar bin Khattab. Atau pemimpin yang bertipe “Mr. Clean” yang membersihkan seluruh keluarganya dari harta baitul maal karena jiwa introspektif (an nafsul lawwamah)nya seperti khalifah Umar bin Abdul Aziz.

Adakah sikap yang bisa kita analogikan dengan sifat-sifat di atas kita temui pada tokoh-tokoh abad modern sekarang, mereka-mereka yang tengah memimpin percaturan dunia yang makin chaos ini dengan pseudo professionnya?


Wallahu’alam bishowab

Dalam hormatku pada nya

Seperti pada Nya